Tampilkan postingan dengan label Sirah-sirah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sirah-sirah. Tampilkan semua postingan

Kamis, 16 Juni 2011

Siti Khadijah

Khadijah binti Khuwailid ibnu Asad ibnu Abdil Uzza ibnu Qushay. Beliau di juluki Ath-thohirah, yang berarti bersih dan suci. Beliau tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mulia dan pada gilirannya beliau menjadi seorang wanita yang cerdas dan agung. Beliau dikenal sebagai seorang yang teguh dan cerdik dan memiliki perangai yang luhur. Karena  itulah banyak laki-laki dari kaumnya menaruh simpati kepadanya. 

Setelah bercerai dengan suami yang pertama, banyak dari para pemuka-pemuka Quraisy yang menginginkan Beliau untuk dijadikan istri, tetapi, Khadijah lebih memprioritaskan perhatiannya dalam mendidik putra-putrinya, juga sibuk mengurusi perniagaan yang kemudian dari hasil usaha yang di kelolanya, Beliau menjadi seorang yang  kaya.

Kepandaian dan kejelian Beliau, kemudian Beliau menawarkan Muhammad yang pada saat itu belumlah diangkat menjadi Nabi, untuk menjual dagangannya. Kejujuran dan sikap profesional yang di miliki Muhammad dalam berdagang, membuat kekayaan Khadijah semakin bertambah banyak.

Khadijah memiliki wajah yang cantik, berasal dari keturunan yang terhormat, memiliki martabat karena kepandaian dan kecerdasaanya, dan ia juga adalah wanita yang kaya raya. Maka tidaklah mengherankan dengan kondisi yang demikian itu semakin banyak para pemuka Quraisy yang terhormat dan kaya raya ingin menjadikan Khadijah sebagai istri.

Singkat cerita, semua tawaran tersebut ditolak oleh khadijah, karena hatinya telah tertambat pada pribadi yang terpercaya, jujur, profesional dalam bekerja, dan memiliki akhlaq yang mulia, ia adalah Muhammad. Dan Allah mentakdirkan mereka untuk menikah, walaupun pada waktu itu, umur Khadijah yang telah sampai di usia 40 Tahun kecantikannya tetap mempesona Muhammad yang berumur 25 tahun.

Khadijah adalah sosok wanita pilihan yang Allah amanahkan untuk mendampingi Muhammad dalam menjalani tugasnya sebagai Rasul Allah. 

Salah satu hikmah yang bisa kita petik dari kisah hidup khadijah, adalah keuletannya, kesungguhannya, kecerdasan dan ketelitiannya dalam menjalankan usaha perdagangan. Tetapi, semua usahanya itu tidaklah ia jadikan semata-mata untuk kesenangan yang bersifat keduniawian semata. Sebagaimana sabda Rasulullah, Khadijah dengan rela memberikan hartanya untuk kepentingan dakwah Rasulullah. Dan hal itu, Beliau lakukan sampai ajal menjemputnya.

***

Kisah Cinta Rasulullah kepada Siti Khadijah

Cinta sejati dan kesetiaan mencintai diukur setelah perkawinan, bahkan lebih terbukti setelah kepergian yang dicintai.

Kendati Nabi Muhammad saw. sangat mencintai Aisyah r.a., namun cinta Beliau kepada Siti Khadijah r.a. pada hakekatnya melebihi cintanya Beliau kepada Aisyah r.a., bahkan cinta itu melebihi semua cinta yang dikenal umat manusia terhadap lawan jenisnya.

Sementara hikayat tentang cinta, seperti Romeo dan Juliet, Lailah dan Majnun, tidak teruji melalui kehidupan bersama mereka sebagai suami istri. Karena itu, sekali lagi dikatakan bahwa cinta Rasulullah saw. kepada Khadijah r.a. adalah puncak cinta yang diperankan oleh seorang laki-laki kepada perempuan dan sebaliknya. 

Sangat besar rasa cinta Rasulullah kepada Khadijah, sampai-sampai Aisyah mengatakan dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim, "Tidak pernah aku merasa cemburu kepada seorang pun dari istri-istri Rasulullah seperti kecemburuanku terhadap Khadijah. Padahal aku tidak pernah melihatnya. Tetapi Rasulullah seringkali menyebut-nyebutnya. Jika ia memotong seekor kambing, ia potong-potong dagingnya, dan mengirimkannya kepada sahabat-sahabat Khadijah."
Maka aku pun berkata kepadanya, "Sepertinya tidak ada wanita lain di dunia ini selain Khadijah!"
Maka berkatalah Rasulullah, "Ya, begitulah ia, dan darinyalah aku mendapatkan anak."

Dalam suatu riwayat dikisahkan, suatu saat Aisyah merasa cemburu, lalu berkata, "Bukankah ia (Khadijah) hanya seorang wanita tua dan Allah telah memberi gantinya untukmu yang lebih baik darinya? (maksud Aisyah yang menggatikan Khadijah adalah dirinya). Maka Belaiu pun marah sampai berguncang rambut depannya. Lalu Beliau bersabda, "Demi Allah! Ia tidak memberikan ganti untukku yang lebih baik darinya. Khadijah telah beriman kepadaku ketika orang-orang masih kufur, ia membenarkanku ketika orang-orang mendustakanku, ia memberikan hartanya kepadaku ketika manusia lain tidak mau memberiku, dan Allah memberikan kepadaku anak darinya dan tidak memberiku anak dari yang lain."
Maka aku berkata dalam hati, "Demi Allah, aku tidak akan lagi menyebut Khadijah dengan sesuatu yang buruk selama-lamanya."

Ketika Aisyah ingin menampakkan kelebihannya atas Khadijah, ia berkata kepada Fatimah r.a., putri Nabi dari Khadijah r.a.: "Aku gadis ketika dinikahi ayahmu sedang ibumu adalah janda ketika dinikahi ayahmu.” Rasul saw. yang mendengar ucapan ini dari putrinya yang mengeluh bersabda: "Sampaikanlah kepadanya ‘Ibuku (maksudnya Khadijah r.a.) lebih hebat dari engkau, Beliau menikahi ayahku yang jejaka, sedang engkau menikahinya saat beliau duda."

Disamping itu Rasulullah tidak memadu Khadijah dengan wanita lain, sedang semua istri selainnya dimadu.
Teman-teman Khadiijah pun masih di ingat oleh Rasul dan berpesan kepada putri-putri Beliau agar terus menjalin hubungan kasih dengan mengirimkan hadiah-walau sederhana- kepada mereka.

Ketika Fath Makkah, yakni hari keberhasilan Rasulullah saw. memasuki kota Mekkah bersama kaum Muslim, beliau berkunjung ke lokasi rumah Khadijah r.a., karena rumah itu sendiri telah tiada. Beliau juga-pada hari itu- menyendiri, di tengah kesibukan bersama pasukan kaum Muslim, dengan seorang wanita tua sambil bercakap-cakap dengan wajah berseri-seri. Aisyah ra yang melihat hal tersebut bertanya: "Siapa orang itu dan apa yang dibicarakannya?" Ternyata wanita tua itu sobat karib Khadijah r.a. dan pembicaraan Nabi saw. dengannya berkisar pada kenangan manis masa lalu bersama Khadijah.

Gerak langkah suara dan ketukan pintu yang biasa dilakukan Khadijah r.a. pun terus segar dalam benak dan pikiran Beliau. Suatu ketika Beliau mendengar ketukan dan suara serupa. Beliau berkomentar: "Ini cara ketukan Khadijah. Saya duga yang datang adalah Hala ( saudara perempuan Khadijah r.a.) dan ternyata dugaan Beliau benar.

Demikianlah keagungan cinta Rasulullah saw. kepada Khadijah r.a. yang akan tetap terukir indah sepajang zaman.

Minggu, 12 Juni 2011

Zaid bin Tsabit

Kita kembali ke tahun kedua Hijriyah. Ketika itu Madinah sedang sibuk menyiapkan suatu angkatan perang untuk menghadapi perang Badar. Rasulullah melakukan pemeriksaan terakhir terhadap tentara muslimin yang pertama-tama dibentuk, dan segera akan diberangkatkan ke medan jihad di bawah komando beliau, untuk melestarikan kalimat Allah di muka bumi.

Ketika Rasulullah sedang sibuk-sibuknya, tiba-tiba seorang laki-laki berusia kurang dari tiga belas tahun datang menghadap beliau. Anak itu kelihatan cerdas, terampil, hemat, cermat, dan teliti. Di tangannya tergenggam sebilah pedang, yang panjangnya melebihi badan anak itu. Dia berjalan tanpa ragu-ragu dan tanpa takut melewati barisan demi barisan menuju Rasulullah SAW. Setelah dekat kepada beliau dia berkata, "Saya bersedia mati untuk Anda, wahai Rasulullah! Izinkanlah saya pergi jihad bersama Anda, memerangi musuh-musuh Allah di bawah panji-panji Anda."

Rasulullah menengok kepada anak itu dengan pandangan gembira dan takjub. Beliau menepuk-nepuk pundak anak itu tanda kasih dan simpati. Tetapi beliau menolak permintaan anak itu, karena usianya masih sangat muda.

Anak itu pulang kembali membawa pedangnya tergesek-gesek menyentuh tanah. Dia sedih dan kecewa permintaannya untuk menyertai Rasulullah dalam peperangan pertama yang akan dihadapi beliau, ternyata ditolaknya.

Ibu anak itu, Nuwar binti Malik, yang sejak tadi mengikutinya dari belakang tidak kurang pula sedihnya. Dia ingin melihat anaknya berjuang di bawah panji-panji Rasulullah, supaya anak itu dapat kesempatan berdekatan dengan beliau seperti diharapkannya. Dalam angan-angannya terbayang, alangkah bahagianya ayah anak itu sekiranya dia masih hidup, melihat anaknya dapat mendekatkan diri kepada Rasulullah SAW.

Tetapi anak Anshar yang cerdas dan pintar ini tidak lekas putus asa. Walaupun dia tidak berhasil mendekatkan diri kepada Rasulullah sebagai prajurit karena usianya masih sangat muda, dia berpikir mencari jalan lain yang tidak ada hubungannya dengan usia. Pikirannya yang tajam membukakan jalan baginya untuk selalu berdekatan dengan Nabi yang dicintainya. Jalan itu ialah bidang ilmu dan hafalan.

Anak itu menyampaikan buah pikirannya kepada ibu. Sang ibu menyambut gembira buah pikiran anaknya, dan segera merintis jalan untuk mewujudkannya.

Nuwar memberi tahu beberapa orang famili tentang keinginan dan bidang yang akan ditempuh anaknya. Mereka setuju lalu pergi menemui Rasulullah.

Kata mereka, "Wahai Rasulullah! Ini anak kami, Zaid bin Tsabit. Dia hafal tujuh belas surat dari kitab Al-Qur'an. Bacaannya betul, sesuai dengan yang diturunkan Allah kepada Anda. Di samping itu dia pandai pula baca tulis Arab. Tulisannya indah dan bacaannya lancar. Dia ingin berbakti kepada Anda dengan keterampilan yang ada padanya, dan ingin pula mendampingi Anda selalu. Jika Anda menghendaki, silakan mendengarkan bacaannya."

Rasulullah mendengarkan Zaid bin Tsabit membaca sebagian ayat-ayat Al-Qur’an yang teah dihafalnya. Bacannya ternyata memang bagus, betul, dan fasih. Kalimat-kalimat Al-Qur’an bagaikan berkelap-kelip di bibirnya seperti bintang-gemintang di permukaan langit. Bacaannya menimbulkan pengaruh dan berkesan. Waqaf-waqaf dilaluinya dengan tepat, menunjukkan dia paham dan mengerti dengan baik apa yang dibacanya.

Rasulullah gembira karena apa yang dilihat dan didengarnya mengenai Zaid bin Tsabit, ternyata melebihi apa yang dikatakan orang yang mengantarnya. Terlebih lagi, Zaid bin Tsabit pandai menuli dan membaca. Rasulullah menoleh kepada Zaid seraya berkata, "Hai Zaid! Pelajarilah baca tulis bahasa Yahudi [Ibrani]. Saya sangat tidak percaya kepada mereka [Yahudi], bila saya diktekan sebagai sekretaris saya."

Jawab Zaid, "Saya siap, ya Rasulullah!" Zaid belajar baca tulis bahasa Ibrani dengan tekun. Berkat otaknya yang cemerlang, maka dalam tempo singkat dia telah menguasai bahasa tersebut dengan baik, berbicara, membaca, dan menulis. Apabila Rasulullah hendak menulis surat kepada orang-orang Yahudi, Zaid bin Tsabit dipanggil beliau menjadi sekretaris. Bila beliau menerima surat dari Yahudi, Zaid pula yang disuruh membacakan surat itu kepada beliau.

Kemudian Zaid disuruh pula belajar baca tulis bahasa Suryani. Zaid berhasil menguasai bahasa itu dalam tempo singkat, berbicara, membaca, dan menulis, seperti penguasaannya terhadap bahasa Yahudi. Dan sejak saat itu, Zaid yang masih muda remaja itu dijadikan beliau sebagai penerjemah bagi beliau untuk kedua bahasa tersebut.

Setelah Rasulullah sungguh-sungguh yakin dengan ketrampilan Zaid, kesetiaan, ketelitian, dan pemahamannya, barulah beliau menugaskannya menulis risalah langit [al-Qur’an]. Maka jadilah dia penulis wahyu. Bila ayat-ayat/wahyu turun, Rasulullah memanggil Zaid, lalu dibacakannya kepada Zaid dan disuruh tulis. Karena itu Zaid bin Tsabit menulis Al-Qur’an didiktekan langsung oleh Rasulullah secara bertahap sesuai dengan turunnya ayat.

Zaid menuliskannya langsung dari mulut Rasulullah SAW, segera setelah ayat turun. Dengan petunjuk beliau, Zaid menyambungkan kepada ayat-ayat sebelumnya yang berhubungan.

Tidak salah lagi kalau pribadi Zaid cemerlang oleh sinar petunjuk Al-Qur’an, dan pikirannya gemerlapan dengan rahasia-rahasiasyariat Islam, sementara dia mengkhususkan diri dengan Al-Qur’an. Dia menjadi orang pertama tempat umat Islam bertanya tentang Al-Qur’an sesudah Rasulullah wafat. Dia menjadi ketua tim yang ditugaskan menghimpun Al-Qur’an pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shidiq. Kemudian dia pula yang menjadi ketua tim penyusun mushaf di zaman pemerintahan Utsman bin Affan.

Kedudukan apakah lagi yang lebih tinggi dari itu? Masih adakah kemuliaan yang lebih tinggi dari kemuliaan seperti itu yang hendak dicapai seseorang?

Diantara keutamaan yang dilimpahkan Al-Qur’an terhadap Zaid bin Tsabit, dia pernah memberikan jalan keluar dari jalan buntu yang membingungkan orang-orang pandai pada hari Saqifah. Kaum muslimin berbeda pendapat tentang pengganti [khalifah] Rasulullah sesudah beliau wafat. Kaum muhajirin berkata, "Pihak kamilah yang lebih pantas." Kata sebagian yang lain "Pihak kami dan kalian sama-sama berhak. Kalau Rasulullah mengangkat seseorang dari kalian untuk suatu urusan, maka beliau mengangkat pula seorang dari pihak kami untuk menyertainya." Karena perbedaan pendapat, hampir saja terjadi bencana di kalangan kaum muslimin ketika itu. Padahal jenazah Rasulullah masih terbaring, belum dimakamkan.

Hanya kalimat-kalimat mutiara yang gemerlapan dengan sinar Al-Qur’an yang sanggup mengubur bencana itu, dan menyinari jalan keluar dari jalan buntu. Kalimat-kalimat tersebut keluar dari mulut Zaid bin Tsabit Al-Anshari. Dia berucap di hadapan kaumnya orang-orang Anshar.

Katanya, "Wahai kaum Anshar! Sesungguhnya Rasulullah SAW adalah orang Muhajirin. Karena itu sepantasnyalah penggantinya or Muhajirin pula. Kita adalah pembantu-pembantu (Anshar) Rasulullah. Maka sepantasnya pulalah kita menjadi pembantu bagi pengganti (khalifah)nya, sesudah beliau wafat dan memperkuat kedudukan khalifah dalam menegakkan agama."

Sesudah berucap begitu, Zaid bin Tsabit mengulurkan tangannya kepada Abu Bakar Ash-Shidiq seraya berkata,"Inilah Khalifah kalian! Baiatlah kalian kepadanya!"

Keunggulan dan kedalaman pengertian Zaid bin Tsabit mengenai Al-Qur’an telah mengangkatnya menjadi penasihat kaum muslimin. Para Khalifah senantiasa bermusyawarah dengan Zaid dalam perkara-perkara sulit, dan masyarakat umum selalu minta fatwa beliau tentang hal-hal yang musykil. Terutama tentang hukum warisan; karena belum ada diantara kaum muslimin ketika itu yang lebih mahir membagi warisan selain dari pada Zaid.

Umar bin Khatab pernah berpidato pada hari Jabriyah, katanya: "Hai, manusia! Siapa yang ingin bertanya tentang Al-Qur’an, datanglah kepada Zaid bin Tsabit. Siapa yang hendak bertanya tentang fiqih tanyalah kepada Muadz bin Jabal. Dan siapa yang hendak bertanya tentang harta kekayaan, datanglah kepada saya. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menjadikan saya penguasa, Allah jualah yang memberinya."

Para pencari ilmu (mahasiswa) yang terdiri dari para sahabat dan tabiin, mengerti benar ketinggian ilmu Zaid bin Tsabit. Karena itu mereka sangat hormat dan memuliakannya, mengingat ilmu yang bersarang di dadanya ialah ilmu Al-Qur’an.

Seorang sahabat lautan ilmu pula, yaitu Abdullah bin Abbas, pernah melihat Zaid bin Tsabit direpotkan hewan yang sedang dekendarainya. Lalu Abdullah berdiri di hadapan kendaraan itu dan memegang talinya supaya tenang. Kata Zaid bin Tsabit kepada Abdullah bin Abbas, "Biarkan saja hewan itu, wahai anak paman Rasulullah!"

Jawab Ibnu Abbas, "Beginilah kami diperintahkan Rasulullah menghormati ulama kami."

Kata Zaid, "Coba perlihatkan tangan Anda kepada saya!"

Ibnu Abbas mengulurkan tangannya kepada Zaid. Zaid bin Tsabit memegang tangan Ibnu Abbas lalu menciumnya. Kata Zaid, "Begitulah caranya kami diperintahkan Rasulullah SAW menghormati keluarga Nabi kami."



Tatkala Zaid bin Tsabit berpulang ke rahmatullah, kaum muslimin menangis karena pelita ilmu yang menyala telah padam.

Berkata Abu Hurairah, "Telah meninggal samudra ilmu umat ini. Semoga Allah menggantinya dengan Ibnu Abbas."


Penyair Rasulullah, Hasan bin Tsabit, menangisi Zaid bin Tsabit dan dirinya sendiri dengan seuntai sajak yang indah:
Siapakah lagi merangkai sajak sesudah Hasan dan anaknya
Manakah lagi menara ilmu sesudah Zaid bin Tsabit?

[sumber: Kepahlawanan Generasi Shahabat Rasulullah SAW]

Rabu, 13 April 2011

Zubair bin Awwam

Dulu, aku sempat ngepost tetang sirahnya Miqdad bin 'Amr. Sekarang aku mempostkan sirah seorang sahabat assabiquunal awwaluun, dia masuk Islam pada usianya yang masih muda, 15 tahun. Sahabat itu bernama Zubair bin Awwam.

Setiap kali nama Thalhah disebut, nama Zubair juga disebut. Dan setiap kali disebut nama Zubair, nama Thalhah pun pasti disebut.

Sewaktu Rasulullah SAW mempersaudarakan para sahabatnya di Makkah sebelum hijrah, beliau mempersaudarakan Thalhah dengan Zubair. Sudah sejak lama Nabi SAW bersabda tentang keduanya secara bersamaan, seperti sabda beliau, “Thalhah dan Zubair adalah tetanggaku di surga.”

Keduanya masih kerabat Rasulullah. Thalhah masih keturunan kakek buyut Rasulullah yang bernama Murrah bin Ka’ab, sedangkan Zubair masih keturunan kakek buyut Rasulullah yang bernama Qusai bin Kilab. Shafiyah, ibu Zaubair, juga bibi Rasulullah.

Thalhah dan Zubair mempunyai banyak kesamaan dalam menjalani roda kehidupan. Masa remaja, kekayaan, kedermawanan, keteguhan dalam beragama dan keberanian mereka hampir sama. Keduanya termasuk orang-orang yang masuk Islam di masa-masa awal, dan termasuk sepuluh orang yang dikabarkan oleh Rasul masuk surga, termasuk enam orang yang diamanahi Khalifah Umar untuk memilih khalifah pengganti. Bahkan, hingga saat kematian keduanya sama persis.

Seperti yang telah kita sebutkan, Zubair termasuk orang-orang yang masuk Islam di masa-masa awal, karena ia termasuk tujuh orang pertama yang masuk Islam, dan sebagai perintis perjuangan di rumah Arqam. Usianya waktu itu baru 15 tahun. Ia telah diberi petunjuk, cahaya, dan kebaikan saat remaja.
Ia ahli menunggang kuda dan memiliki keberanian, sejak kecil. Bahkan, ahli sejarah menyebutkan bahwa pedang pertama yang dihunuskan untuk membela Islam adalah pedang Zubair bin Awwam.

Di masa-masa awal, saat jumlah kaum muslimin masih sedikit dan masih bermarkas di rumah Arqam, terdengar berita bahwa Rasulullah terbunuh. Zubair langsung menghunus pedang lalu berkeliling kota Makkah laksana tiupan angin kencang, padahal usianya masih muda belia.
Yang pertama kali dilakukannya adalah mengecek kebenaran berita tersebut. Seandainya berita itu benar, ia bertekad menggunakan pedangnya untuk memenggal semua kepala orang-orang kafir Quraisy atau ia sendiri yang gugur.
Di satu tempat, di bagian kota Makkah yang agak tinggi, ia bertemu Rasulullah. Rasulullah menanyakan maksudnya. Ia menceritakan berita yang ia dengar dan menceritakan tekadnya. Maka, beliau berdoa agar Zubair selalu diberi kebaikan dan pedangnya selalu diberi kemenangan.

Sekalipun Zubair seorang bangsawan terpandang, namun ia juga merasakan penyiksaan Quraisy. Orang yang disuruh menyiksanya adalah pamannya sendiri. Ia pernah diikat dan dibungkus tikar lalu diasapi hingga kesulitan bernapas. Di saat itulah sang paman berkata, “Larilah dari Tuhan Muhammad, akan kubebaskan kamu dari siksa ini.” Meskipun masih muda belia, Zubair menjawab dengan tegas, “Tidak! Demi Allah, aku tidak akan kembali kepada kekafiran untuk selama-lamanya.”
Zubair ikut dalam perjalanan hijrah ke Habasyah dua kali. Kemudian ia kembali, untuk mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah, hingga tidak satu pun peperangan yang tidak ia ikuti.
 

Banyaknya bekas luka pedang dan tombak di tubuhnya adalah bukti keberanian dan kepahlawanannya.
Seorang rekannya yang melihat bekas luka yang hampir memenuhi sekujur tubuhnya. Aku pernah bersama Zubair bin Awwam dalam satu perjalanan dan aku melihat tubuhnya. Ada banyak bekas sabetan pedang. Di dadanya ada beberapa lubang bekas tusukan tombak dan anak panah. Aku berkata kepadanya, ‘Demi Allah, yang kulihat ditubuhmu belum pernah kulihat di tubuh orang lain.’ Ia menjawab, “Demi Allah, semua luka-luka ini kudapat bersama Rasulullah dalam peperangan membela agama Allah.”

Seusai Perang Uhud, dan pasukan Quraisy sedang dalam perjalanan pulang ke Makkah, Zubair dan Abu Bakar diperintahkan Rasulullah memimpin kaum muslimin mengejar mereka agar mereka menganggap kaum muslimin masih mempunyai kekuatan, sehingga mereka tidak berpikir untuk menyerbu Madinah.
Abu Bakar dan Zubair membawa 70 tentara muslim. Sekalipun Abu Bakar dan Zubair sebenarnya sedang mengikuti satu pasukan yang menang perang dan berjumlah jauh lebih besar, namun kecerdikan dan siasat yang dipergunakan keduanya berhasil mengecoh mereka. Mereka menyangka bahwa pasukan yang dipimpin Abu Bakar dan Zubair adalah pasukan perintis dan di belakang pasukan ini masih ada pasukan yang jauh lebih besar. Tentu saja ini membuat mereka takut. Mereka pun mempercepat langkah menuju Makkah.

Di perang Yarmuk, Zubair memerankan satu pasukan tersendiri. Ketika banyak prajuritnya yang lari ketakutan melihat jumlah pasukan Romawi yang begitu banyak, ia berteriak, “Allaahu Akbar”, lalu menyerbu pasukan Romawi sendirian dengan pedangnya.

Ia sangat rindu untuk syahid. Ia berkata, “Thalhah bin Ubaidillah memberi nama anak-anaknya dengan nama nabi-nabi padahal tidak ada nabi setelah Muhammad Saw. Karena itu, aku memberi nama anak-anakku dengan nama para syuhada dengan harapan mereka syahid.”

Ada yang diberi nama Abdullah dari nama Abdullah bin Jahsy. Ada yang diberi nama Mundzir dari nama Mundzir bin Amru. Ada yang diberi nama Urwah dari nama Urwah bin Amru. Ada yang diberi nama Hamzah dari nama Hamzah bin Abdul Muthalib. Ada yang diberi nama Ja’far dari nama Ja’far bin Abi Thalib. Ada yang diberi nama Mushab dari nama Mushab bin Umair. Ada yang diberi nama Khalid dari nama Khalid bin Sa’id. Seperti itulah, semua anaknya diberi nama dengan nama-nama para syuhada dengan harapan bisa syahid seperti mereka.
 

Zubair tidak pernah menjadi bupati atau gubernur. Tidak pernah menjadi petugas penarik pajak atau cukai. Ia tidak pernah menduduki jabatan kecuali sebagai pejuang perang membela agama Allah.

Ia sangat percaya dengan kemampuannya di medan perang dan itulah kelebihannya. Meskipun pasukannya berjumlah 100 ribu prajurit, namun ia seakan-akan sendirian di arena pertempuran. Seakan-akan dia sendiri yang memikul tanggung jawab perang.

Keteguhan hati di medan perang dan kecerdasannya dalam mengatur siasat perang adalah keistimewaannya.

Ia melihat gugurnya sang paman, yaitu Hamzah, di Perang Uhud. Ia juga melihat bagaimana tubuh pamannya dicabik-cabik oleh pasukan kafir. Ia berdiri dekat jenazah sang paman. Gigi-giginya terdengar gemeretak dan genggaman pedangnya semakin erat. Hanya satu yang dipikirkannya, yaitu balas dendam. Akan tetapi, wahyu segera turun melarang kaum muslimin melakukan balas dendam.

Ketika pengepungan terhadap bani Quraidzah sudah berjalan lama tanpa membawa hasil, Rasulullah menugaskan Zubair dan Ali bin Abi Thalib. Keduanya berdiri di depan benteng musuh yang kuat dan berkata, “Demi Allah, mari kita rasakan apa yang dirasakan Hamzah. Atau, akan kita buka benteng mereka.” Keduanya melompat ke dalam benteng. Dengan kecerdasannya, ia berhasil membuat takut orang-orang yang berada dalam benteng dan berhasil membuka pintu benteng sehingga pasukan Islam berhamburan menyerbu ke dalam benteng.

Di perang hunain, suku Hawazin yang dipimpin Malik bin Auf menderita kekalahan yang memalukan. Tidak bisa menerima kekalahan yang diderita, Malik beserta beberapa prajuritnya bersembunyi di sebuah tempat, mengintai pasukan Islam, dan bermaksud membunuh para panglima Islam. Ketika Zubair mengetahui kelicikan Malik, ia langsung menyerang mereka seorang diri dan berhasil mengobrak-abrik mereka.

Rasulullah sangat sayang kepada Zubair. Beliau bahkan pernah menyatakan kebanggaannya atas perjuangan Zubair. “Setiap nabi mempunyai pembela dan pembelaku adalah Zubair bin Awwam.”

Bukan karena sebagai saudara sepupu dan suami dari Asma binti Abu Bakar yang bergelar “Dzatun Niqatain” (memiliki dua selendang), melainkan karena pengabdiannya yang luar biasa, keberaniannya yang tiada dua, kepemurahannya yang tidak terkira, dan pengorbanan diri serta hartanya untuk Allah, Tuhan alam semesta.

Sungguh tepat apa yang dikatakan Hasan bin Tsabit ketika melukiskan sifat-sifatnya.
Janjinya kepada Nabi selalu ia tepati
Atas petunjuk Nabi ia berbakti
Dialah sang pembela sejati
Kata dan perbuatannya bagai merpati

Di jalan Nabi, ia berjalan
Bela kebenaran sebagai tujuan

Jika api peperangan sudah menyala
Dialah penunggang kuda tiada dua
Dialah pejuang tak kenal menyerah

Dengan Rasul, masih keluarga
Terhadap Islam, selalu membela

Pedangnya selalu siaga
Kala Rasul dihadang bahaya
Dan Allah tidak ingkar pada janji-Nya
Memberi pahala tiada terkira


Ia seorang yang bebrudi tinggi dan berakhlak mulia. Keberanian dan kepemurahannya bagai dua kuda yang digadaikan. Ia seorang pebisnis sukses. Harta kekayaannya melimpah ruah. Semuanya ia dermakan untuk kepentingan Islam hingga saat mati mempunyai utang. Kedermawanan, keberanian, dan pengorbanannya bersumber dari sikap tawakalnya yang sempurna kepada Allah. Karena dermawannya, sampai-sampai ia rela mendermakan nyawanya untuk Islam.

Sebelum meninggal, ia berpesan kepada anaknya untuk melunasi utang-utangnya, “Jika kamu tidak mampu melunasinya, mintalah kepada pelindungku.”
Sang anak bertanya, “Siapa pelindung yang ayah maksud?”
Zubair menajwab, “Allah! Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”
Di kemudian hari, sang anak bercerita, “Demi Allah, setiap kali aku kesulitan membayar utangnya, aku berkata, ‘Wahai Pelindung Zubair, lunasilah utangnya.’ Maka Allah melunasi utangnya.”

Di perang Jamal, seperti yang tersebut dalam kisah Thalhah, perjalanan hidup Zubair berakhir.

Setelah ia mengetahui duduk permasalahannya, lalu meninggalkan peperangan, ia dikuntit oleh sejumlah orang yang menginginkan perang tetap berkecamuk. Ketika Zubair sedang melaksanakan shalat, mereka menikam Zubair. Setelah itu, si pembunuh pergi menghadap Khalifah Ali, mengabarkan bahwa ia telah membunuh Zubair. Ia berharap kabar itu menyenangkan hati Ali karena yang ia tahu, Ali memusuhi Zubair. Ketika Ali mengetahui ada pembunuh Zubair yang hendak menemuinya, ia langsung berseru, “Katakanlah kepada pembunuh Zubair putra Shafiah bahwa orang yang membunuh Zubair tempatnya di neraka.”
Ketika pedang Zubair ditunjukkan kepada Ali, ia menciumnya. Lalu ia menangis dan berkata, “Demi Allah, sekian lama pedang ini melindungi Nabi dari marabahaya.” 

[sumber: 60 Sirah Sahabat Rasulullah Saw]

Selasa, 22 Februari 2011

Mengenal Fisik Rasulullah saw

Mengenal Fisik Rasulullah saw

Saat seseorang memandang fisik
Rasulullah saw., ia segera merasakan bahwa ia sedang berada di depan keindahan yang mengagumkan dan tak ada duanya. Penampilan yang mencerminkan kepercayaan yang mutlak dan tak terbatas. Berikut ini
adalah pendapat yang disepakati oleh mereka yang bertemu dan melihat langsung Rasulullah saw, mudah2-mudahan menambah kerinduan dan kecintaan kita pada Rasulullah saw.
 
Ad-Darimi dan al-Baihaqi mentakhrij bahwa Jabir bin Samurah berkata, “Aku melihat Nabi saw. pada malam
bulan purnama, dan ketika aku bandingkan antara wajah Nabi saw. dan indahnya bulan, saya dapati wajah Nabi saw. lebih indah dibandingkan rembulan.”
 
At-Tirmidzi dan al-Baihaqi meriwayatkan bahwa Abu Hurairah r.a. berkata, “Aku tidak pernah melihat sesuatu yang lebih indah dari Rasulullah saw. Seakan-akan mentari bersinar dari wajah beliau saw. Aku
tidak pernah dapati seseorang yang lebih cepat jalannya dibandingkan beliau, seakan-akan bumi melipat sendiri tubuhnya saat beliau berjalan. Ketika aku ikut berjihad, aku lihat beliau tidak pernah berlindung di balik perisai.”
 
Bukhari-Muslim meriwayatkan bahwa Al-Barra berkata, “Rasulullah saw mempunyai pundak
yg lebar, rambutnya mencapai ujung telinga, dan tidak pernah ada orang yg lebih indah dipandang dibandingkan beliau.”
 
Muslim meriwayatkan dari Abu Thufail bahwa ia pernah diminta untuk menceritakan tentang Rasulullah saw. kepada kami, kemudian ia menjawab, “Beliau memiliki wajah yang putih dan berseri.”
 
Bukhari meriwayatkan bahwa Abu Hurairah berkata, “Rasulullah saw. memiliki dua kaki yang kokoh dan tegap, dan wajah yang indah, yang belum pernah kutemukan wajah seindah itu sebelumnya.”
 
Abu Musa Madini meriwayatkan dalam kitab ashShahabah bahwa Amad bin Abad al-Hadhrami berkata, “Aku melihat Rasulullah saw. dan tidak pernah melihat wajah seindah itu sebelumnya maupun sesudahnya.”
 
Ad-Darimi meriwayatkan bahwa Ibnu Umar berkata, “Aku tidak pernah temukan orang yang lebih berani, dermawan, dan lebih bersinar wajahnya, dibandingkan Rasulullah saw.”
 
Ahmad dan Baihaqi meriwayatkan bahwa Mahrasy Kahti berkata, “Rasulullah saw. mengambil umrah
dari jiranah, pada malam hari. Dan, ketika saya melihat bagian belakang tubuh beliau, saya seperti melihat perak yang menyala.”
 
Abdullah bin Imam Ahmad serta al-Baihaqi meriwayatkan bahwa Ali r.a. berkata, “Rasulullah saw. bukanlah orang yang tubuhnya tinggi menjulang. Jika berjalan bersam rombongan, beliau tampak menonjol. Wajahnya putih, kepalanya besar, alis matanya panjang dan hitam, dan jika ada keringat yang menetes dari wajah
beliau, akan tampak seperti mutiara. Aku tidak pernah melihat wajah seindah wajah beliau, sebelumnya atau
setelahnya.”
 
Deskripsi tentang Rasulullah saw. yang diberikan oleh Hindun bin Abi Halah,
“Tubuh Rasulullah saw. menampakkan pribadi yang agung. Wajahnya bersinar seperti bulan purnama. Kepalanya besar. Rambutnya keras. Kuliatnya putih kemerahan. Keningnya luas. Alisnya tebal. Jika
marah, keningnya meneteskan keringat. Hidungnya mancung. Tubuhnya diliputi cahaya. Orang yang tidak memperhatikan dengan saksama menyangkanya amat tinggi. Jenggotnya tebal. Matanya hitam. Kedua pipinya tirus. Mulutnya lebar. Giginya indah. Memiliki bulu halus di atas perut. Lehernya amat halus. Tubuhnya sedang. Sedikit gemuk dan tegap, dengan perut dan dada yang seimbang. Dadanya bidang. Kedua pergelangan tangannya panjang. Telapak tangannya luas. Kedua kaki dan tangannya kekar. Jari-jarinya panjang. Jalannya tegap, seperti sedang turun dari ketinggian. Jika menoleh, dengan seluruh tubuhnya. Pandangannya selalu tertunduk ke tanah, dan jarang sekali mendongakkan matanya ke langit. Jika Rasulullah saw. menyentuh seseorang, orang itu akan merasakan ketenangan yang mengagumkan, dan perasaan ketinggian ruhani yang menakjubkan."
 
Ahmad meriwayatkan bahwa Sa’d bin Abi Waqqash berkata, “Suatu ketika aku jatuh sakit di
Mekah. Kemudian Rasulullah saw. menjenguk, meletakkan tangan beliau di kening, dan mengusap wajah, dada, serta perutku. Hingga saat ini, aku masih merasakan sentuhan tangan beliau saw dijantung.”
Muslim meriwayatkan bahwa Jabir bin Samurah berkata, “Suatu ketika Rasulullah saw. mengusap mukaku dengan tangannya. Aku dapati tangan beliau demikian sejuknya dan berbau wangi. Seakan-akan tangan tersebut baru dikeluarkan dari kantong kesturi.”
 
Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Anas r.a. berkata, “Aku belum pernah menemui sutra maupun beludru yg lebih lembut dari tangan Rasulullah saw. Dan, belum pernah mencium bau misik atau minyak anbar
yang lebih harum dari Rasulullah saw.”
Penampilan beliau memberikan sugesti kepada orang yg melihatnya bahwa orang tersebut sedang berdiri di hadapan seorang nabi. At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa Abdullah bin Salam berkata, “Ketika Nabi saw. datang ke Madinah, aku menemui beliau. Ketika aku melihat wajah beliau, aku segera mengetahui bahwa
wajah beliau bukan wajah seorang pendusta.”
 
Abu Ramtsah Tamimi berkata, “Aku mendatangi Nabi saw. bersama anakku. Ketika aku melihat beliau, hatiku langsung berkata, ‘Orang ini pastilah nabi Allah’.”
 
Abdullah bin Rawahah berkata tentang Rasulullah saw, “Seandainya tidak ada ayat-ayat penjelas pun, yang menerangkan beliau saw sebagai rasul, niscaya penampilan dan tubuh beliau saw sudah cukup menjadi keterangan itu. ”
 
Ini adalah sebagian riwayat yang menjelaskan tentang tubuh Rasulullah saw. Semua keagungan postur tubuh beliau saw itu kami ceritakan kembali, sehingga kita dapat menangkap dengan jelas kepribadian Rasulullah saw dari segala seginya.

Sumber: Ar Rasul Said Haww

Kamis, 22 April 2010

Miqdad Bin 'Amr: Kemegahan Dunia dan Kehancuran

Hari itu, nampak ketegangan menyelimuti kaum muslimin, orang-orang kafir Quraisy datang dengan kekuatannya yang dahsyat; dengan semangat dan tekad yang bergelora; dengan kesombongan dan keangkuhan mereka. Perang Badar adalah peperangan pertama yang mereka terjuni. Jumlah kaum muslimin masih sedikit, dan belum teruji dalam peperangan untuk membela Islam.

Rasulullah meminta pendapat mereka. Para sahabat paham betul bahwa beliau benar-benar meminta pendapat mereka. Meskipun nantinya ada pendapat yang berlainan dengan pendapat kebanyakan, Rasulullah tidak akan memarahi orang tersebut.

Saat itulah Rasulullah menguji keimanan para pengikutnya dan kesiapan mereka untuk menghadapi pasukan musuh yang terdiri dari pasukan pejalan kaki dan pasukan berkuda.

Miqdad khawatir kalau ada diantara kaum muslimin yang masih berfikir seribu kali untuk melakukan peperangan. Karena itu, sebelum ada yang angkat bicara, Miqdad ingin mendahului mereka, agar dengan kata-katanya yang tegas dapat mengobarkan semangat juang dan bisa menjadi pendapat umum.

Tetapi, sebelum ia menggerakkan kedua bibirnya, Abu Bakar Ash Shidiq mulai berbicara. Apa yang dikemukakan Abu Bakar sangat baik, Miqdad pun tenang. Kemudian Umar bn Khathab menyusul bicara. Pendapatnya pun juga baik.

Setelah itu barulah Miqdad angkat bicara, "Ya Rasulullah, jangan ragu! Laksanakan apa yang dititahkan Allah. Kami akan bersamamu. Demi Allah kami tidak akan berkata seperti yang dikatakan Bani Israel kepada Musa, 'Pergilah kamu bersama Tuhamnu dan berperangkah! Kami akan duduk menunggu disini.' Tetapi kami akan mengatakan kepadamu, 'Pergilah bersama Tuhanmu dan berperanglah! Kami akan berperang disampingmu.' Demi yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran! Sendainya engkau membawa kami menerjuni lautan lumpur, kami akan patuh. Kami akan berjuang bersamamu dengan gagah berani hingga mencapai tujuan, dan kami akan bertempur disebelah kanan dan disebelah kirimu, dibagian depan dan dibagian belakangmu, sampai Allah memberimu kemenangan."
Kata-kata ini mengalir deras dari bibir Miqdad. Mendengar perkataan semacam itu, wajah Rasulullah terlihat berseri-seri, lalu beliau berdoa untuk Miqdad. Pasukan Islam pun menjadi bersemangat mengikuti semangat yang ditunjukkan oleh Miqdad.

Rasulullah sangat senang. Beliau bersabda kepada pengikutnya, "Berangkatlah dan bergembiralah." Hingga kedua pasukan pun berhadapan. Jumlah anggota pasukan Islam yang berkuda ketika itu tidak lebih dari tiga orang, yaitu Miqdad bin 'Amr, Martsad bin Abi Martsad, dan Zubair bin Awwam; sementara yang lain berjalan kaki atau menunggang unta. Kiprah Miqdad di Perang Badar itu akan senantiasa terukir indah dan tidak akan terlupakan.

Ucapan Miqdad tidak saja menggambarkan keberaniannya, tetapi juga melukiskan sikap bijaknya, dan pola fikirnya yang mendalam. Itu tidak hanya terlihat pada ucapannya, tetapi terlihat juga pada prinsip hidup dan perilakunya yang lurus. Semua pengalamannya adalah sumber bagi sikap bijak dan pola fikirnya.

Ia pernah diangkat Rasulullah sebagai Gubernur di suatu wilayah. Tatkala ia kembali dari tugasnya, Nabi bertanya, "Bagaimana denagn jabatanmu?" Ia menjawab dengan jujur, "Engkau telah menjadikanku menganggap diri ini di atas rakyat sedang mereka di bawahku. Demi yang telah mengutusmu membawa kebenaran, mulai saat ini saya tidak adakan menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang."

Miqdad termasuk deretan orang yang pertama masuk Islam, dan orang ketujuh yang menyatakan secara terang-terangan, hingga menanggung penderitaan dari kekejaman kaum kafir Quraisy. Di masa jahiliyah, ia diambil anak oleh Aswad bin 'Abdi Yaghuts. Karena itu, ia dipanggil Miqdad bin Aswad. Tetapi setelah turunnya firman Allah yang melarang penisbatan nama seseorang ke ayah angkatnya, nama Miqdad dinisbatkan ke nama ayah kandungnya; 'Amr bin Sa'd.

Ia adalah seorang laki-laki yang tidak tertipu oleh dirinya dan kelemahannya. Ia menjadi gubernur, lalu dirinya dikuasai kemegahan dan pujian. Kelemahan ini disadarinya hingga ia bersumpah akan menghindarinya dan menolak untuk menjadi gubernur lagi setelah pengalaman pahit itu.

Dan ia menepati janjinya itu. Sejak saat itu, ia tidak pernah menerima jabatan pemimpin. Bahkan ia sering mengucapkan sabda Nabi saw. yang berbunyi, "Orang yang bebahagia ialah orang yang dijauhkan dari kehancuran."

Jika jabatan kepemimpinan dianggapnya suatu kemegahan yang menimbulkan atau hampir menimbulkan kehancuran bagi dirinya, maka syarat untuk mencapai kebahagiaan baginya ialah menjauhinya.

Diantara sikap bijaknya adalah kehati-hatiannya dalam menilai orang. Sikap ini juga ia pelajari dari Rasulullah saw. yang telah menyampaikan kepada umatnya, "Berubahnya hati manusia lebih cepat dari periuk yang sedang mendidih." Karenanya, Miqdad sering menangguhkan penilaian terakhir terhadap seseorang sampai saat kematian mereka. Tujuannya ialah agar orang yang akan dinilainya tidak mengalami hal baru lagi. Adakah perubahan setelah kematian?

Cinta yang mendalam dan tertata menjadikan pemiliknya sebagai orang yang istimewa. Ia tidak berhenti pada rasa cinta tetapi tahu akan semua konsekuensinya. Cintanya kepada Islam menyebabkanny abertanggungjawab untuk membela ajaran Islam. Layaklah ia menyandang sabda Nabi saw. "Sesungguhnya Allah menyuruhku menyayangimu, dan dan memberitahuku bahwa Dia menyayangimu."

[taken from: bening; ace dari sumber: 60 Sirah Sahabat Rasulullah saw.]