Minggu, 17 April 2011

Suara Azan di Jantung Muazin yang Telah Tiada

Dokter Jasim Al-Haditsy--seorang penasehat kesehatan jantung anak di Amir Sulthan Center untuk penyakit jantung, rumah sakit Angkatan Bersenjata Riyadh-- mengisahkan kepadaku, "Salah seorang rekanku yang bisa dipercaya bercerita kepadaku bahwa suatu malam saat ia sedang bertugas di rumah sakit, ada seorang pasien yang meninggal dunia. Maka ia segera memastikan akan kematian pasien tersebut, ia meletakkan stetoskop di atas dadanya. Namun tiba-tiba ia mendengarkan suara, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Asyhadu alla ilaaha illallaah...

Dokter Jasim Al-Hadisty berkata, "Saya rasa suara itu adalah azan Subuh. Kemudian saya bertanya kepada salah seorang perawat, 'Jam berapa Sekarang?' Ia menjawab, 'Jam satu malam.' Saya tahu bahwa saat ini belum tiba saatnya azan Subuh, kemudian saya kembali meletakkan stetoskop di atas dadanya dan saya kembali mendengarkan azan tersebut selengkapnya. Maka saya bertanya kepada keluarga pasien yang meninggal ini tentang keadaannya semasa hidup. Dan mereka menjelaskan, 'Ia bekerja sebagai muazin pada sebuah mesjid, biasanya ia datang ke masjid seperempat sebelum tiba waktunya atau kadang lebih awal lagi. Ia selalu menghatamkan Al-Quran dalam tiga hari, dan Ia sangat menjaga lisannya dari kesalahan.'"

[taken from: Terbakar Kumandang Azan (dr. Khalid bin Abdul Aziz Al-Jubair, SpJP, Kesaksian Seorang Dokter, (Jakarta: Darus Sunnah, 2007) h. 134-135)]

Rabu, 13 April 2011

Zubair bin Awwam

Dulu, aku sempat ngepost tetang sirahnya Miqdad bin 'Amr. Sekarang aku mempostkan sirah seorang sahabat assabiquunal awwaluun, dia masuk Islam pada usianya yang masih muda, 15 tahun. Sahabat itu bernama Zubair bin Awwam.

Setiap kali nama Thalhah disebut, nama Zubair juga disebut. Dan setiap kali disebut nama Zubair, nama Thalhah pun pasti disebut.

Sewaktu Rasulullah SAW mempersaudarakan para sahabatnya di Makkah sebelum hijrah, beliau mempersaudarakan Thalhah dengan Zubair. Sudah sejak lama Nabi SAW bersabda tentang keduanya secara bersamaan, seperti sabda beliau, “Thalhah dan Zubair adalah tetanggaku di surga.”

Keduanya masih kerabat Rasulullah. Thalhah masih keturunan kakek buyut Rasulullah yang bernama Murrah bin Ka’ab, sedangkan Zubair masih keturunan kakek buyut Rasulullah yang bernama Qusai bin Kilab. Shafiyah, ibu Zaubair, juga bibi Rasulullah.

Thalhah dan Zubair mempunyai banyak kesamaan dalam menjalani roda kehidupan. Masa remaja, kekayaan, kedermawanan, keteguhan dalam beragama dan keberanian mereka hampir sama. Keduanya termasuk orang-orang yang masuk Islam di masa-masa awal, dan termasuk sepuluh orang yang dikabarkan oleh Rasul masuk surga, termasuk enam orang yang diamanahi Khalifah Umar untuk memilih khalifah pengganti. Bahkan, hingga saat kematian keduanya sama persis.

Seperti yang telah kita sebutkan, Zubair termasuk orang-orang yang masuk Islam di masa-masa awal, karena ia termasuk tujuh orang pertama yang masuk Islam, dan sebagai perintis perjuangan di rumah Arqam. Usianya waktu itu baru 15 tahun. Ia telah diberi petunjuk, cahaya, dan kebaikan saat remaja.
Ia ahli menunggang kuda dan memiliki keberanian, sejak kecil. Bahkan, ahli sejarah menyebutkan bahwa pedang pertama yang dihunuskan untuk membela Islam adalah pedang Zubair bin Awwam.

Di masa-masa awal, saat jumlah kaum muslimin masih sedikit dan masih bermarkas di rumah Arqam, terdengar berita bahwa Rasulullah terbunuh. Zubair langsung menghunus pedang lalu berkeliling kota Makkah laksana tiupan angin kencang, padahal usianya masih muda belia.
Yang pertama kali dilakukannya adalah mengecek kebenaran berita tersebut. Seandainya berita itu benar, ia bertekad menggunakan pedangnya untuk memenggal semua kepala orang-orang kafir Quraisy atau ia sendiri yang gugur.
Di satu tempat, di bagian kota Makkah yang agak tinggi, ia bertemu Rasulullah. Rasulullah menanyakan maksudnya. Ia menceritakan berita yang ia dengar dan menceritakan tekadnya. Maka, beliau berdoa agar Zubair selalu diberi kebaikan dan pedangnya selalu diberi kemenangan.

Sekalipun Zubair seorang bangsawan terpandang, namun ia juga merasakan penyiksaan Quraisy. Orang yang disuruh menyiksanya adalah pamannya sendiri. Ia pernah diikat dan dibungkus tikar lalu diasapi hingga kesulitan bernapas. Di saat itulah sang paman berkata, “Larilah dari Tuhan Muhammad, akan kubebaskan kamu dari siksa ini.” Meskipun masih muda belia, Zubair menjawab dengan tegas, “Tidak! Demi Allah, aku tidak akan kembali kepada kekafiran untuk selama-lamanya.”
Zubair ikut dalam perjalanan hijrah ke Habasyah dua kali. Kemudian ia kembali, untuk mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah, hingga tidak satu pun peperangan yang tidak ia ikuti.
 

Banyaknya bekas luka pedang dan tombak di tubuhnya adalah bukti keberanian dan kepahlawanannya.
Seorang rekannya yang melihat bekas luka yang hampir memenuhi sekujur tubuhnya. Aku pernah bersama Zubair bin Awwam dalam satu perjalanan dan aku melihat tubuhnya. Ada banyak bekas sabetan pedang. Di dadanya ada beberapa lubang bekas tusukan tombak dan anak panah. Aku berkata kepadanya, ‘Demi Allah, yang kulihat ditubuhmu belum pernah kulihat di tubuh orang lain.’ Ia menjawab, “Demi Allah, semua luka-luka ini kudapat bersama Rasulullah dalam peperangan membela agama Allah.”

Seusai Perang Uhud, dan pasukan Quraisy sedang dalam perjalanan pulang ke Makkah, Zubair dan Abu Bakar diperintahkan Rasulullah memimpin kaum muslimin mengejar mereka agar mereka menganggap kaum muslimin masih mempunyai kekuatan, sehingga mereka tidak berpikir untuk menyerbu Madinah.
Abu Bakar dan Zubair membawa 70 tentara muslim. Sekalipun Abu Bakar dan Zubair sebenarnya sedang mengikuti satu pasukan yang menang perang dan berjumlah jauh lebih besar, namun kecerdikan dan siasat yang dipergunakan keduanya berhasil mengecoh mereka. Mereka menyangka bahwa pasukan yang dipimpin Abu Bakar dan Zubair adalah pasukan perintis dan di belakang pasukan ini masih ada pasukan yang jauh lebih besar. Tentu saja ini membuat mereka takut. Mereka pun mempercepat langkah menuju Makkah.

Di perang Yarmuk, Zubair memerankan satu pasukan tersendiri. Ketika banyak prajuritnya yang lari ketakutan melihat jumlah pasukan Romawi yang begitu banyak, ia berteriak, “Allaahu Akbar”, lalu menyerbu pasukan Romawi sendirian dengan pedangnya.

Ia sangat rindu untuk syahid. Ia berkata, “Thalhah bin Ubaidillah memberi nama anak-anaknya dengan nama nabi-nabi padahal tidak ada nabi setelah Muhammad Saw. Karena itu, aku memberi nama anak-anakku dengan nama para syuhada dengan harapan mereka syahid.”

Ada yang diberi nama Abdullah dari nama Abdullah bin Jahsy. Ada yang diberi nama Mundzir dari nama Mundzir bin Amru. Ada yang diberi nama Urwah dari nama Urwah bin Amru. Ada yang diberi nama Hamzah dari nama Hamzah bin Abdul Muthalib. Ada yang diberi nama Ja’far dari nama Ja’far bin Abi Thalib. Ada yang diberi nama Mushab dari nama Mushab bin Umair. Ada yang diberi nama Khalid dari nama Khalid bin Sa’id. Seperti itulah, semua anaknya diberi nama dengan nama-nama para syuhada dengan harapan bisa syahid seperti mereka.
 

Zubair tidak pernah menjadi bupati atau gubernur. Tidak pernah menjadi petugas penarik pajak atau cukai. Ia tidak pernah menduduki jabatan kecuali sebagai pejuang perang membela agama Allah.

Ia sangat percaya dengan kemampuannya di medan perang dan itulah kelebihannya. Meskipun pasukannya berjumlah 100 ribu prajurit, namun ia seakan-akan sendirian di arena pertempuran. Seakan-akan dia sendiri yang memikul tanggung jawab perang.

Keteguhan hati di medan perang dan kecerdasannya dalam mengatur siasat perang adalah keistimewaannya.

Ia melihat gugurnya sang paman, yaitu Hamzah, di Perang Uhud. Ia juga melihat bagaimana tubuh pamannya dicabik-cabik oleh pasukan kafir. Ia berdiri dekat jenazah sang paman. Gigi-giginya terdengar gemeretak dan genggaman pedangnya semakin erat. Hanya satu yang dipikirkannya, yaitu balas dendam. Akan tetapi, wahyu segera turun melarang kaum muslimin melakukan balas dendam.

Ketika pengepungan terhadap bani Quraidzah sudah berjalan lama tanpa membawa hasil, Rasulullah menugaskan Zubair dan Ali bin Abi Thalib. Keduanya berdiri di depan benteng musuh yang kuat dan berkata, “Demi Allah, mari kita rasakan apa yang dirasakan Hamzah. Atau, akan kita buka benteng mereka.” Keduanya melompat ke dalam benteng. Dengan kecerdasannya, ia berhasil membuat takut orang-orang yang berada dalam benteng dan berhasil membuka pintu benteng sehingga pasukan Islam berhamburan menyerbu ke dalam benteng.

Di perang hunain, suku Hawazin yang dipimpin Malik bin Auf menderita kekalahan yang memalukan. Tidak bisa menerima kekalahan yang diderita, Malik beserta beberapa prajuritnya bersembunyi di sebuah tempat, mengintai pasukan Islam, dan bermaksud membunuh para panglima Islam. Ketika Zubair mengetahui kelicikan Malik, ia langsung menyerang mereka seorang diri dan berhasil mengobrak-abrik mereka.

Rasulullah sangat sayang kepada Zubair. Beliau bahkan pernah menyatakan kebanggaannya atas perjuangan Zubair. “Setiap nabi mempunyai pembela dan pembelaku adalah Zubair bin Awwam.”

Bukan karena sebagai saudara sepupu dan suami dari Asma binti Abu Bakar yang bergelar “Dzatun Niqatain” (memiliki dua selendang), melainkan karena pengabdiannya yang luar biasa, keberaniannya yang tiada dua, kepemurahannya yang tidak terkira, dan pengorbanan diri serta hartanya untuk Allah, Tuhan alam semesta.

Sungguh tepat apa yang dikatakan Hasan bin Tsabit ketika melukiskan sifat-sifatnya.
Janjinya kepada Nabi selalu ia tepati
Atas petunjuk Nabi ia berbakti
Dialah sang pembela sejati
Kata dan perbuatannya bagai merpati

Di jalan Nabi, ia berjalan
Bela kebenaran sebagai tujuan

Jika api peperangan sudah menyala
Dialah penunggang kuda tiada dua
Dialah pejuang tak kenal menyerah

Dengan Rasul, masih keluarga
Terhadap Islam, selalu membela

Pedangnya selalu siaga
Kala Rasul dihadang bahaya
Dan Allah tidak ingkar pada janji-Nya
Memberi pahala tiada terkira


Ia seorang yang bebrudi tinggi dan berakhlak mulia. Keberanian dan kepemurahannya bagai dua kuda yang digadaikan. Ia seorang pebisnis sukses. Harta kekayaannya melimpah ruah. Semuanya ia dermakan untuk kepentingan Islam hingga saat mati mempunyai utang. Kedermawanan, keberanian, dan pengorbanannya bersumber dari sikap tawakalnya yang sempurna kepada Allah. Karena dermawannya, sampai-sampai ia rela mendermakan nyawanya untuk Islam.

Sebelum meninggal, ia berpesan kepada anaknya untuk melunasi utang-utangnya, “Jika kamu tidak mampu melunasinya, mintalah kepada pelindungku.”
Sang anak bertanya, “Siapa pelindung yang ayah maksud?”
Zubair menajwab, “Allah! Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”
Di kemudian hari, sang anak bercerita, “Demi Allah, setiap kali aku kesulitan membayar utangnya, aku berkata, ‘Wahai Pelindung Zubair, lunasilah utangnya.’ Maka Allah melunasi utangnya.”

Di perang Jamal, seperti yang tersebut dalam kisah Thalhah, perjalanan hidup Zubair berakhir.

Setelah ia mengetahui duduk permasalahannya, lalu meninggalkan peperangan, ia dikuntit oleh sejumlah orang yang menginginkan perang tetap berkecamuk. Ketika Zubair sedang melaksanakan shalat, mereka menikam Zubair. Setelah itu, si pembunuh pergi menghadap Khalifah Ali, mengabarkan bahwa ia telah membunuh Zubair. Ia berharap kabar itu menyenangkan hati Ali karena yang ia tahu, Ali memusuhi Zubair. Ketika Ali mengetahui ada pembunuh Zubair yang hendak menemuinya, ia langsung berseru, “Katakanlah kepada pembunuh Zubair putra Shafiah bahwa orang yang membunuh Zubair tempatnya di neraka.”
Ketika pedang Zubair ditunjukkan kepada Ali, ia menciumnya. Lalu ia menangis dan berkata, “Demi Allah, sekian lama pedang ini melindungi Nabi dari marabahaya.” 

[sumber: 60 Sirah Sahabat Rasulullah Saw]

Sabtu, 09 April 2011

Asal Mula Tatswib

Setelah tadi aku telah mempost tentang sejarah azan, kini aku ingin mempostkan tentang tatswib.

Tatswib:
Ash-shalaatu khairum minann naum
Mengerjakan shalat itu lebih baik daripada tidur.

Tatswib adalah kalimat azan yang hanya dikumandangkan pada waktu subuh. Adapun bunyi kalimat tatswib tersebut adalah ash-shalaatu khairum minann naum. Ini adalah definisi yang benar dan disepakati mayoritas ulama. Sebagian ulama yang lain mendefinisikan tatswib sebagai sesuatu yang dibuat-buat dalam azan dan tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw. Seperti mendahulukan tasyahud daripada takbir atau yang lainnya, Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Ishaq. Adapun jawaban bagi orang yang mendengar tatswib adalah shadaqta wa bararta [benar engkau muazin, dan engkau telah berbuat baik].
Tatswib ini diterapkan dan masuk sebagai kalimat azan belakangan setelah kalimat azan sendiri telah lengkap. Pada mulanya, azan subuh sama saja dengan azan-azan pada shalat fardhu yang lain - yakni azan subuh tidak menggunakan tatswib. Namun, kejadian kecil telah mengubahnya dan kini menjadi sejarah abadi.
Kisah lanjutnya adalah sebagai berikut:

Suatu ketika, Bilal datang menuju masjid Nabawi untuk mengumandangkan azan subuh. Namun dia diberi tahu bahwa Rasulullah Saw sedang tidur. Mendengar informasi tersebut akhirnya Bilal menyelipkan kalimat tatswib dalam azannya. Ini dilakukan oleh Bilal karena mungkin dia sendiri tidak berani untuk langsung membangunkan Rasulullah Saw. Mendengar kalimat tersebut dikumandangkan oleh Bilal, Rasulullah Saw berkata, "Alangkah bagusnya kalimat ini wahai Bilal, pakailah dalam azanmu." Maka setelah itu tatswib ditetapkan sebagai kalimat dalam azan subuh, dan tidak pernah lagi ditinggalkan.

Tatswib ini hanya boleh dikumandangkan ketika azan subuh saja. Hal ini berdasar sabda Rasulullah Saw, "Janganlah kalian sekali-kali mengumandangkan tatswib pada satu pun shalat fardhu, selain shalat subuh." [HR. At-Turmudzi]
Sekalipun hadis ini tidak cukup kuat untuk dijadikan dasar hukum -karena kedhaifannya- namun pada kenyataannya, secara praktis tatswib tidak pernah diperbolehkan oleh semua ulama untuk dikumandangkan pada selain azan subuh. Sebagaimana yang terjadi pada masa sahabat; ketika itu Mujahid pergi bersama Ibnu Umar, tiba-tiba seorang lelaki mengumandangkan tatswib pada shalat zuhur. Mendengar itu sahabat Ibnu Umar menjadi marah dan berkata, "Keluar kamu! ini adalah bid'ah." [Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Bab maa tatswib, (II/142. no. hadis. 453) Diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqi, dan ath-Thabrani.]

Jumat, 08 April 2011

Sejarah Azan sebagai Tanda Waktu Masuk Shalat

Mungkin sebagian orang telah mengetahui kisah ini. Tapi, aku hanya ingin mempostkannya kembali diblogku ini. :)

      Suatu ketika Rasulullah Saw sedang bermusyawarah dengan para sahabat. Mencari jalan keluar bagaimana caranya mengumpulkan orang-orang untuk shalat jamaah. Karena, saat itu rasanya tidak mungkin jika semua orang dikerahkan untuk memanggil umat Islam satu persatu. Dalam musyawarah itu, para sahabat pun mengajukan pendapatnya masing-masing. Diantara mereka ada yang mengusulkan dengan cara mengibarkan bendera jika waktu shalat telah tiba. Dengan cara ini, diharapkan seseorang yang melihat bendera dapat mengabarkan pada yang lain. Dan begitu seterusnya hingga semua orang akhirnya tahu bahwa waktu shalat telah tiba dan berkumpul untuk jamaah. Namun usulan ini tidak diterima - baik oleh Rasulullah Saw atau dikalangan para sahabat lain - dengan alasan tidak cocok. Dan ketika itu, sebenarnya banyak usulan lain - tidak hanya dengan mengibarkan bendera saja. Sahabat lain ada yang mengusulkan dengan suara terompet dan tanduk. Tapi ternyata hal ini tidak membuat Rasulullah Saw tertarik untuk menerimanya, beliau berkata, "hal itu sama dengan yang dilakukan oleh Yahudi." Kemudian diusulkan lagi dengan lonceng, Rasululah Saw menjawab, "Kalau itu mirip dengan orang Nasrani." Dan ada juga yang mengusulkan agar waktu shalat ditandai dengan cara menghidupkan api.
       Namun semua usulan tadi kandas, tidak sesuai dengan yang dikehendaki Rasulullah Saw. Hingga akhirnya beliau mengambil keputusan sendiri dan menganjurkan dua khabasyah [kentongan yang terbuat dari kayu] dibentur-benturkan untuk dijadikan tanda waktu shalat. Musyawarah pun selesai, dan sahabat satu persatu membubarkan diri. Sambil tetap berpikir, apa yang terbaik untuk dijadikan tanda tibanya waktu shalat. Diantara para sahabat itu adalah Abdullah bin Zaid yang juga serius memikirkan masalah ini. Hingga pada malam harinya apa yang menjadi beban pikiran Abdullah bin Zaid terjawab. Karena ia bermimpi tentang sesuatu yang unik dan menakjubkan. Dan pagi harinya ia menyampaikan mimpi itu pada Rasulullah Saw, dan berkata, "Wahai Rasulullah Saw, di antara tidur dan terjaga aku didatangi seseorang dan menunjukkan padaku azan. Dalam mimpi itu aku melihat seorang lelaki sedang membawa kentongan kemudian aku bertanya, 'Apakah kamu menjual kentongan?' Lelaki itu menjawab, 'Akan kau pergunakan apa kentongan?' Aku pun [Abdullah bin Zaid] menjawab, 'Untuk memanggil orang mengerjakan shalat.' Lelaki itu bertanya lagi, ' Apakah kamu mau saya tunjukkan sesuatu yang lebih baik dari itu?' Aku pun menjawab, 'Baiklah.'"
         Mendengar penjelasan Abdullah bin Zaid, Rasulullah Saw menanggapi hal itu dengan serius kemudian beliau bersabda, "Sesungguhnya mimpimu itu adalah benar. oleh sebab itu, berdirilah dengan Bilal karena dia lebih indah dan lebih tinggi suaranya daripada kamu. [caranya] Kamu menyampaikan pada Bilal apa yang kamu ketahui dari mimpimu dan Bilal yang mengumandangkan."
Dan akhirnya azan dikumandangkan, beberapa saat setelah Bilal mengumandangkan azan, Umar bin Al-Khaththab datang dengan buru-buru sambil menjinjing jubah yang dipakainya sambil berkata, "Wahai Rasulullah Saw, demi Zat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, aku sebelumnya telah bermimpi [mendengar suara] yang sama seperti yang dikumadangkan Bilal." Kemudian Rasulullah Saw menjawab, "Segala puji bagi Allah, ini akan lebih meyakinkan." Sebenarnya Umar bin Al-Khaththab sudah bermimpi dua puluh hari dahulu sebelum Abdullah bin Zaid. Tetapi ia diam saja dan tidak berani mengutarakan pada Rasulullah Saw. Sehingga beliau bertanya, "Kenapa kamu tidak memberitahukan hal itu padaku [padahal kamu sudah lama memimpikannya]?" Umar bin Al-Khaththab menjawab, "Abdullah bin Zaid telah lebih dahulu menyampaikannya dan akupun merasa enggan [malu]."
Dan akhirnya azan ditetapkan Rasulullah Saw sebagai tanda waktu masuk shalat.